Konflik Agraria Telukjambe, Karawang dimulai sejak tahun 2012 ketika PT. Pertiwi Lestari (PT PL) yang menggunakan surat Hak Guna Bangunannya memasang plang-plang di lahan yang di garap para petani. Akhir 2013, lahan petani di Dusun Cisadang, Desa Wanajaya dirusak dengan ganti rugi hanya berkisar 2 juta hingga 5 juta rupiah; semua petani menolak dan melawan hingga bentrokan fisik terjadi dan tujuh orang di antaranya ditahan dengan tuduhan pidana pengeroyokan.
Di tahun 2016, pertemuan dengan Menteri Agraria Ferry M. Baldan menghasilkan sebuah janji sertifikasi kepemilikan rumah dan lahan bagi para petani yang telah meninggalinya minimal sepuluh tahun. Pasca reshuffle kabinet, PT PL melakukan kegiatan pemagaran yang dikawal oleh Polres Karawang dan Brimob Polda Jabar dengan alasan PT PL sudah mendapatkan IMB yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Lahan tanaman para petani lagi-lagi dirusak dan intimidasi kerap terjadi. Petani dipaksa menerima uang kerahiman sebesar 30 juta rupiah tanpa memandang seberapa luas lahan atau rumahnya. Pada 11 Oktober 2016, warga yg terus menolak dan melakukan perlawanan, akhirnya bentrok fisik dengan petugas keamanan PT PL. Sore harinya, penyisiran terhadap petani dilakukan oleh ribuan personel Polres dan Brimob. 52 petani laki-laki dibawa ke Polres Karawang, 13 di antaranya (11 laki-laki dewasa dan 2 anak di bawah umur) ditahan. Para petani dipidanakan dengan dalih pengeroyokan sesuai dengan pasal 170 KUHP. Pada 12 Oktober 2016, para petani yang selamat kemudian pergi ke Jakarta mencari perlindungan dan keadilan ke kantor LBH Jakarta, KontraS, dan STN selama satu bulan. Sebulan kemudian, Pemkab Karawang meminta para petani korban konflik untuk pulang dan menjanjikan ketersediaan makanan, pendidikan, kesehatan; namun, janji itu hanya bertahan selama 1,5 bulan dan petani kembali terlantar di Rusunawa Karawang. Sementara, mereka juga menyaksikan rumah tinggal dihancurkan oleh PT PL.
Pada Maret 2017, para petani melakukan aksi long march dari Karawang menuju Jakarta untuk kembali melakukan aksi dan mencari keadilan serta merebut haknya lagi. Setelah beberapa kali aksi di depan Gedung MPR/DPR RI dan Istana Negara, termasuk Aksi Kubur Diri, saat ini para petani telah dipulangkan ke Karawang. Mereka ditempatkan di Rumah Dinas Bupati untuk sementara waktu sembari menunggu hasil keputusan pemerintah mengenai ganti rugi rumah dan lahan pertanian mereka.
Setiap orang bergerak. Ada yang bergerak dengan lari atau, bahkan, ada yang merangkak. Aku dan kau bergerak. Tetapi, kemana arah gerakku? Kemana arah gerakmu? Tidak peduli, kawan. Setiap gerakan semestinya adalah gerakan menegasi. Gerakan yang menolak ketidakmungkinan-untuk-berubah, meludahi yang-telah-ada, dan melahirkan yang-akan-ada.
Sementara aku bersenang-senang, selalu ada kezaliman yang mengungkung banyak aku-yang-lain.
Jika aku adalah subjek, maka aku-yang-lain juga subjek. Aku dan sekumpulan aku-yang-lain membentuk kita. Kita adalah subjek; kita adalah manusia. Namun, kita terlalu majemuk, terdiri dari kami-yang-senang, kami-yang-murung, kami-yang-tertindas, kami-yang-menindas; kami-yang-dikuasai dan kami-yang-menguasai.
Kenapa ada kami yang beragam? Ada kami dan kami-yang-lain pula. Manusia selalu memiliki perbedaan: banyak beda hanya sekelumit sama. Kondisi sosial historis ikut membentuk ragam kepribadian dan kepentingan kita. Kami banyak, tapi kita hanya satu. Meski bervariasi, kami adalah kita. Yang banyak itu sesungguhnya adalah satu. Aku adalah bagian dari masyarakat, aku-yang-lain juga bagian dari masyarakat yang sama. Semua individu membentuk satu komunitas bersama dalam dunia, komunitas yang pada awalnya untuk saling membantu, bahu membahu; karena pada fitrahnya, keterbatasan manusia mengungkung diri untuk bisa hidup swamandiri. Masyarakat dibentuk – atau terbentuk, agar seluruh aku dapat saling berinteraksi dalam tindakan yang afirmatif dan suportif satu sama lain.
Hingga pada satu titik waktu, aku membentuk kami: komunitas-komunitas yang lebih kecil. Komunitas kecil ini memiliki satu konsep yang dijadikan acuan identitas tersendiri bagi individu di dalamnya, sekaligus pembeda dengan individu atau komunitas lainnya. Pada titik ini, manusia mengedepankan ego identitasnya yang berlainan; kebanggaan sekaligus kebencian muncul, masing-masing pada komunitasnya dan komunitas lain. Sosialitas murni – masyarakat, menjadi tidak lagi murni, masing-masing komunitas membentuk konsep dirinya sendiri dan memuja, meruncingkan perbedaan ini. Sosialitas-murni yang didasarkan pada sebuah keterbatasan akan kemampuan memenuhi dirinya sendiri berubah menjadi sosialitas-etnosentris. Tidak ada lagi masyarakat yang berinteraksi demi ketulusan semata-mata menunjang hidup bersama, tidak ada lagi persatuan yang didasarkan pada kesamaan tunggal; tidak ada lagi warna putih yang memayungi manusia, masing-masing komunitas mewarnai diri mereka sendiri, dan lewat warna itu konflik diadakan. Ada komunitas yang jadi lebih kuat dibanding komunitas lain; ada komunitas yang menindas dan karenanya ada komunitas yang tertindas. Komunitas yang kuat cenderung, dan pasti, menguasai komunitas yang lemah.
View all posts by rizaismus