Kami belum kalah, meski kekecewaan terpatri di wajah. Hari keempat (28/4) aksi jadi pertanda konsistensi kami dalam berjuang. Karena kami paham betul bahwa ini bukanlah semata-mata perjuangan menuntut keadilan pemerintah untuk mengembalikan tempat tinggal dan lahan kami; kemenangan kami adalah kemenangan seluruh petani di Republik ini. Kemenangan kami adalah kemenangan keadilan. Kemenangan kami adalah kemenangan dari gigihnya perjuangan. Dan, kelak, kemenangan kami adalah kemenangan rakyat yang tertindas, kesukariaan rakyat yang pada akhirnya menolak untuk terus ditindas, kesukacitaan rakyat bahwa melawan adalah suatu hakikat hidup. Memang, kemenangan tidak datang hari itu. Bahkan, pagi hari ini, di saat jemariku menari meloncat dari satu tuts ke tuts lain, kemenangan terasa masih jauh.
Jumlah petani yang mengubur diri berkurang setengahnya, hanya lima orang. Tentu, kami maklum. Kelelahan melanda kami. Massa aksi pun juga berkurang.
Hari itu, pengawalan melonggar, hanya satu peleton. Polisi pun rupanya sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut Hari Buruh Internasional, May Day, hari rayanya kaum tertindas.
Setiap orang bergerak. Ada yang bergerak dengan lari atau, bahkan, ada yang merangkak. Aku dan kau bergerak. Tetapi, kemana arah gerakku? Kemana arah gerakmu? Tidak peduli, kawan. Setiap gerakan semestinya adalah gerakan menegasi. Gerakan yang menolak ketidakmungkinan-untuk-berubah, meludahi yang-telah-ada, dan melahirkan yang-akan-ada.
Sementara aku bersenang-senang, selalu ada kezaliman yang mengungkung banyak aku-yang-lain.
Jika aku adalah subjek, maka aku-yang-lain juga subjek. Aku dan sekumpulan aku-yang-lain membentuk kita. Kita adalah subjek; kita adalah manusia. Namun, kita terlalu majemuk, terdiri dari kami-yang-senang, kami-yang-murung, kami-yang-tertindas, kami-yang-menindas; kami-yang-dikuasai dan kami-yang-menguasai.
Kenapa ada kami yang beragam? Ada kami dan kami-yang-lain pula. Manusia selalu memiliki perbedaan: banyak beda hanya sekelumit sama. Kondisi sosial historis ikut membentuk ragam kepribadian dan kepentingan kita. Kami banyak, tapi kita hanya satu. Meski bervariasi, kami adalah kita. Yang banyak itu sesungguhnya adalah satu. Aku adalah bagian dari masyarakat, aku-yang-lain juga bagian dari masyarakat yang sama. Semua individu membentuk satu komunitas bersama dalam dunia, komunitas yang pada awalnya untuk saling membantu, bahu membahu; karena pada fitrahnya, keterbatasan manusia mengungkung diri untuk bisa hidup swamandiri. Masyarakat dibentuk – atau terbentuk, agar seluruh aku dapat saling berinteraksi dalam tindakan yang afirmatif dan suportif satu sama lain.
Hingga pada satu titik waktu, aku membentuk kami: komunitas-komunitas yang lebih kecil. Komunitas kecil ini memiliki satu konsep yang dijadikan acuan identitas tersendiri bagi individu di dalamnya, sekaligus pembeda dengan individu atau komunitas lainnya. Pada titik ini, manusia mengedepankan ego identitasnya yang berlainan; kebanggaan sekaligus kebencian muncul, masing-masing pada komunitasnya dan komunitas lain. Sosialitas murni – masyarakat, menjadi tidak lagi murni, masing-masing komunitas membentuk konsep dirinya sendiri dan memuja, meruncingkan perbedaan ini. Sosialitas-murni yang didasarkan pada sebuah keterbatasan akan kemampuan memenuhi dirinya sendiri berubah menjadi sosialitas-etnosentris. Tidak ada lagi masyarakat yang berinteraksi demi ketulusan semata-mata menunjang hidup bersama, tidak ada lagi persatuan yang didasarkan pada kesamaan tunggal; tidak ada lagi warna putih yang memayungi manusia, masing-masing komunitas mewarnai diri mereka sendiri, dan lewat warna itu konflik diadakan. Ada komunitas yang jadi lebih kuat dibanding komunitas lain; ada komunitas yang menindas dan karenanya ada komunitas yang tertindas. Komunitas yang kuat cenderung, dan pasti, menguasai komunitas yang lemah.
View all posts by rizaismus