Kemarin Hari Buruh, kali ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (2/5). Massa Aksi Kubur Diri bergabung dengan front massa aksi mahasiswa. Salah seorang dari mereka bahkan memutuskan untuk bersolidaritas dan ikut menguburkan dirinya. Orasi-orasi mereka juga kini tidak hanya menyinggung masalah komersialisasi pendidikan atau represifitas lembaga pendidikan, tetapi juga mengenai konflik agraria, mengenai kami.
Hari itu, cuaca agak tenang dengan sedikit rintik hujan membasahi kami dan permukaan bumi. Dua puluh satu orang dikubur, dengan kata lain meningkat satu orang dibanding hari kemarin. Setengah jam sebelum aksi usai, kami diberi kabar oleh Kasat Intel bahwa Sekretaris Negara siap menerima kami. Sejam setelah aksi usai, sembilan orang dari kami dipersilahkan masuk. Kami tentu menduga kalau panggilan ini lagi-lagi hanya formalitas belaka. Setelah bertemu dengan salah seorang petinggi Setneg dengan ditemani staf Kantor Staf Presiden dan tiga orang intelijen, kami dibuat kaget. Saat itu, kami diminta untuk menulis siapa-siapa saja sepuluh orang perwakilan petani yang asli kelahiran Karawang untuk bertemu dengan Presiden Jokowi! Tentu ada rasa bahagia terpercik dahsyat di hati kami.
Enam hari aksi. Enam hari perjuangan. Enam hari pengorbanan. Enam hari kemurkaan dan kebahagiaan. Enam hari penuh persahabatan dan permusuhan. Enam hari penuh cinta dan dendam. Enam hari penuh rasa dan hambar. Enam hari itu kami lewati. Dan enam hari itu, sungguh tidak sia-sia, kawan.
Kami keluar dengan sumringah, penuh senyum. Aku berjalan di belakang bersama seorang kawan. Kami saling mengingatkan untuk tidak terlena euforia.
Percakapan kami berlanjut. Ada sesuatu yang mengganjal di hati, rupanya kawanku menangkap hal itu. Ini bisa jadi sinyal akan perpisahanku dengan seseorang yang tetiba saja mengisi selongsong kehampaan hati. Seorang gadis yang sempat mengeluh padaku di depan kawat duri yang memanjang. Aku tahu perjuangan tidak sebanal itu. Namun, entahlah, mungkin hati sedang bekerja.
Setiap orang bergerak. Ada yang bergerak dengan lari atau, bahkan, ada yang merangkak. Aku dan kau bergerak. Tetapi, kemana arah gerakku? Kemana arah gerakmu? Tidak peduli, kawan. Setiap gerakan semestinya adalah gerakan menegasi. Gerakan yang menolak ketidakmungkinan-untuk-berubah, meludahi yang-telah-ada, dan melahirkan yang-akan-ada.
Sementara aku bersenang-senang, selalu ada kezaliman yang mengungkung banyak aku-yang-lain.
Jika aku adalah subjek, maka aku-yang-lain juga subjek. Aku dan sekumpulan aku-yang-lain membentuk kita. Kita adalah subjek; kita adalah manusia. Namun, kita terlalu majemuk, terdiri dari kami-yang-senang, kami-yang-murung, kami-yang-tertindas, kami-yang-menindas; kami-yang-dikuasai dan kami-yang-menguasai.
Kenapa ada kami yang beragam? Ada kami dan kami-yang-lain pula. Manusia selalu memiliki perbedaan: banyak beda hanya sekelumit sama. Kondisi sosial historis ikut membentuk ragam kepribadian dan kepentingan kita. Kami banyak, tapi kita hanya satu. Meski bervariasi, kami adalah kita. Yang banyak itu sesungguhnya adalah satu. Aku adalah bagian dari masyarakat, aku-yang-lain juga bagian dari masyarakat yang sama. Semua individu membentuk satu komunitas bersama dalam dunia, komunitas yang pada awalnya untuk saling membantu, bahu membahu; karena pada fitrahnya, keterbatasan manusia mengungkung diri untuk bisa hidup swamandiri. Masyarakat dibentuk – atau terbentuk, agar seluruh aku dapat saling berinteraksi dalam tindakan yang afirmatif dan suportif satu sama lain.
Hingga pada satu titik waktu, aku membentuk kami: komunitas-komunitas yang lebih kecil. Komunitas kecil ini memiliki satu konsep yang dijadikan acuan identitas tersendiri bagi individu di dalamnya, sekaligus pembeda dengan individu atau komunitas lainnya. Pada titik ini, manusia mengedepankan ego identitasnya yang berlainan; kebanggaan sekaligus kebencian muncul, masing-masing pada komunitasnya dan komunitas lain. Sosialitas murni – masyarakat, menjadi tidak lagi murni, masing-masing komunitas membentuk konsep dirinya sendiri dan memuja, meruncingkan perbedaan ini. Sosialitas-murni yang didasarkan pada sebuah keterbatasan akan kemampuan memenuhi dirinya sendiri berubah menjadi sosialitas-etnosentris. Tidak ada lagi masyarakat yang berinteraksi demi ketulusan semata-mata menunjang hidup bersama, tidak ada lagi persatuan yang didasarkan pada kesamaan tunggal; tidak ada lagi warna putih yang memayungi manusia, masing-masing komunitas mewarnai diri mereka sendiri, dan lewat warna itu konflik diadakan. Ada komunitas yang jadi lebih kuat dibanding komunitas lain; ada komunitas yang menindas dan karenanya ada komunitas yang tertindas. Komunitas yang kuat cenderung, dan pasti, menguasai komunitas yang lemah.
View all posts by rizaismus