Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional (1/5), energi kami terasa meningkat berkali lipat. Waktu itu jam tujuh pagi, kami sudah bergegas. Sudah sepantasnya kaum tertindas saling memahami satu sama lain, bukan? Hari itu wilayah Istana Negara steril dalam radius 100 meter, kami yang biasa mengadakan aksi di Taman Aspirasi mesti bergeser jauh ke depan Patung Kuda. Sempat pula massa bersitegang dengan personel kepolisian yang menghadang kami saat hendak memasuki Taman Aspirasi. Namun, kami mengalah, tentu saja, kami hanya ingin didengar bukan untuk menimbulkan kericuhan.
Sesampainya di depan Patung Kuda, kami tanpa disengaja membaur dengan massa buruh. Tepat di depan gerbang Monumen Nasional, kami memutuskan untuk menggelar aksi di sana. Massa aksi kami sebenarnya jauh lebih banyak dibanding hari-hari sebelumnya. Toh, hari itu dua puluh petani menguburkan dirinya, dua kali lipat dari jumlah terakhir. Tetapi, lautan massa buruh tetap saja terlalu banyak untuk tidak menutupi jalannya aksi kami.
Keberkahan ternyata berpihak kepada kami. Titik aksi kami saat itu tepat berada di mana mobil Outer Broadcast Van berbagai media diparkir. Aksi Kubur Diri pun jadi daya tarik tersendiri bagi awak media. Beberapa stasiun televisi melakukan siaran live di tempat kami. Sebuah keberpihakan takdir rasanya. Terpaan media yang begitu banyak meningkatkan semangat kami pula.
Sayangnya, fisik tak pernah berdusta. Mulai dari jam satu siang, satu persatu petani yang mengubur diri tumbang. Terik matahari yang begitu dahsyat menusuk tepat ke dahi tentu jadi alasan tersendiri. Hingga dua jam kemudian, setengahnya tumbang. Satu orang pingsan dan mesti dirawat sedikit lebih lama dibanding rekan-rekannya. Sungguh, hasil perjuangan memang mesti dibayar mahal. Jauh lebih mahal dibanding perkiraanku.
Setiap orang bergerak. Ada yang bergerak dengan lari atau, bahkan, ada yang merangkak. Aku dan kau bergerak. Tetapi, kemana arah gerakku? Kemana arah gerakmu? Tidak peduli, kawan. Setiap gerakan semestinya adalah gerakan menegasi. Gerakan yang menolak ketidakmungkinan-untuk-berubah, meludahi yang-telah-ada, dan melahirkan yang-akan-ada.
Sementara aku bersenang-senang, selalu ada kezaliman yang mengungkung banyak aku-yang-lain.
Jika aku adalah subjek, maka aku-yang-lain juga subjek. Aku dan sekumpulan aku-yang-lain membentuk kita. Kita adalah subjek; kita adalah manusia. Namun, kita terlalu majemuk, terdiri dari kami-yang-senang, kami-yang-murung, kami-yang-tertindas, kami-yang-menindas; kami-yang-dikuasai dan kami-yang-menguasai.
Kenapa ada kami yang beragam? Ada kami dan kami-yang-lain pula. Manusia selalu memiliki perbedaan: banyak beda hanya sekelumit sama. Kondisi sosial historis ikut membentuk ragam kepribadian dan kepentingan kita. Kami banyak, tapi kita hanya satu. Meski bervariasi, kami adalah kita. Yang banyak itu sesungguhnya adalah satu. Aku adalah bagian dari masyarakat, aku-yang-lain juga bagian dari masyarakat yang sama. Semua individu membentuk satu komunitas bersama dalam dunia, komunitas yang pada awalnya untuk saling membantu, bahu membahu; karena pada fitrahnya, keterbatasan manusia mengungkung diri untuk bisa hidup swamandiri. Masyarakat dibentuk – atau terbentuk, agar seluruh aku dapat saling berinteraksi dalam tindakan yang afirmatif dan suportif satu sama lain.
Hingga pada satu titik waktu, aku membentuk kami: komunitas-komunitas yang lebih kecil. Komunitas kecil ini memiliki satu konsep yang dijadikan acuan identitas tersendiri bagi individu di dalamnya, sekaligus pembeda dengan individu atau komunitas lainnya. Pada titik ini, manusia mengedepankan ego identitasnya yang berlainan; kebanggaan sekaligus kebencian muncul, masing-masing pada komunitasnya dan komunitas lain. Sosialitas murni – masyarakat, menjadi tidak lagi murni, masing-masing komunitas membentuk konsep dirinya sendiri dan memuja, meruncingkan perbedaan ini. Sosialitas-murni yang didasarkan pada sebuah keterbatasan akan kemampuan memenuhi dirinya sendiri berubah menjadi sosialitas-etnosentris. Tidak ada lagi masyarakat yang berinteraksi demi ketulusan semata-mata menunjang hidup bersama, tidak ada lagi persatuan yang didasarkan pada kesamaan tunggal; tidak ada lagi warna putih yang memayungi manusia, masing-masing komunitas mewarnai diri mereka sendiri, dan lewat warna itu konflik diadakan. Ada komunitas yang jadi lebih kuat dibanding komunitas lain; ada komunitas yang menindas dan karenanya ada komunitas yang tertindas. Komunitas yang kuat cenderung, dan pasti, menguasai komunitas yang lemah.
View all posts by rizaismus