Berawal dari kunjungan seorang pemilik kedai kopi, Das Kopi, tidak jauh dari Rumah Dinas Bupati (RDB) tempat petani Telukjambe tinggal sementara waktu, berakhir pada sebuah acara untuk menghibur para petani Kamis (25/5) lalu.
Pemilik kedai itu akrab disapa Yuda, aku memanggilnya A’ Yuda. Percakapan perdana kami langsung menyiratkan bahwa nilai juang kami ternyata sama. Ia meminta maaf kepadaku dan kawan-kawan lain yang telah merepotkan datang jauh-jauh dari Jakarta, selain juga mewakili teman-temannya sesama putra-putri daerah Karawang yang selama ini belum sempat ikut serta berjuang bersama petani Telukjambe. Tentu, aku pribadi maklum mengingat mereka juga sedang menangani kasus pertambangan di daerah Karawang yang lain. Sedari awal memang A’ Yuda sudah ingin merencanakan satu ‘penebusan dosa’. Ia mengutarakan bahwa ingin sekali menggelar pagelaran seni di RDB, sebagai wujud solidaritas, bentuk hiburan, dan tentu penghinaan untuk Pemkab sendiri. Percakapan perdana itu terjadi dua minggu sebelum Kamisan Karawang akhirnya digelar.
Kami berkenalan dengan sesama anak muda Karawang. Satu hal menyenangkan bisa punya banyak teman seperjuangan tentunya.
Saat hari H tiba, A’ Yuda dan kawan-kawan muda Karawang menyiapkan segala sesuatunya. Hari itu ada beberapa acara: pembacaan puisi dan musikalisasi oleh anak-anak petani, pagelaran akustik, jemuran puisi, pameran lukisan anak-anak petani, dan pengumpulan donasi lewat penjualan stiker. Kamisan Karawang dimulai tepat pukul 16.00. Awalnya, kami hanya menyasar untuk menghibur anak-anak petani, namun malahan semua petani ikut berpartisipasi dan bersukaria. Beberapa perwakilan serikat buruh dan komunitas di Karawang juga hadir untuk bersolidaritas. Sejenak, kami seperti melupakan lelah dan penatnya tinggal di tempat yang bukan rumah kami. Sejenak pula, kami seperti mengabaikan ancaman-ancaman intimidatif dari sejumlah preman yang nyaris setiap hari dalam seminggu terakhir selalu datang. Abai karena jumlah kami kini bertambah banyak. Abai karena barisan kami makin rapat.
Setiap orang bergerak. Ada yang bergerak dengan lari atau, bahkan, ada yang merangkak. Aku dan kau bergerak. Tetapi, kemana arah gerakku? Kemana arah gerakmu? Tidak peduli, kawan. Setiap gerakan semestinya adalah gerakan menegasi. Gerakan yang menolak ketidakmungkinan-untuk-berubah, meludahi yang-telah-ada, dan melahirkan yang-akan-ada.
Sementara aku bersenang-senang, selalu ada kezaliman yang mengungkung banyak aku-yang-lain.
Jika aku adalah subjek, maka aku-yang-lain juga subjek. Aku dan sekumpulan aku-yang-lain membentuk kita. Kita adalah subjek; kita adalah manusia. Namun, kita terlalu majemuk, terdiri dari kami-yang-senang, kami-yang-murung, kami-yang-tertindas, kami-yang-menindas; kami-yang-dikuasai dan kami-yang-menguasai.
Kenapa ada kami yang beragam? Ada kami dan kami-yang-lain pula. Manusia selalu memiliki perbedaan: banyak beda hanya sekelumit sama. Kondisi sosial historis ikut membentuk ragam kepribadian dan kepentingan kita. Kami banyak, tapi kita hanya satu. Meski bervariasi, kami adalah kita. Yang banyak itu sesungguhnya adalah satu. Aku adalah bagian dari masyarakat, aku-yang-lain juga bagian dari masyarakat yang sama. Semua individu membentuk satu komunitas bersama dalam dunia, komunitas yang pada awalnya untuk saling membantu, bahu membahu; karena pada fitrahnya, keterbatasan manusia mengungkung diri untuk bisa hidup swamandiri. Masyarakat dibentuk – atau terbentuk, agar seluruh aku dapat saling berinteraksi dalam tindakan yang afirmatif dan suportif satu sama lain.
Hingga pada satu titik waktu, aku membentuk kami: komunitas-komunitas yang lebih kecil. Komunitas kecil ini memiliki satu konsep yang dijadikan acuan identitas tersendiri bagi individu di dalamnya, sekaligus pembeda dengan individu atau komunitas lainnya. Pada titik ini, manusia mengedepankan ego identitasnya yang berlainan; kebanggaan sekaligus kebencian muncul, masing-masing pada komunitasnya dan komunitas lain. Sosialitas murni – masyarakat, menjadi tidak lagi murni, masing-masing komunitas membentuk konsep dirinya sendiri dan memuja, meruncingkan perbedaan ini. Sosialitas-murni yang didasarkan pada sebuah keterbatasan akan kemampuan memenuhi dirinya sendiri berubah menjadi sosialitas-etnosentris. Tidak ada lagi masyarakat yang berinteraksi demi ketulusan semata-mata menunjang hidup bersama, tidak ada lagi persatuan yang didasarkan pada kesamaan tunggal; tidak ada lagi warna putih yang memayungi manusia, masing-masing komunitas mewarnai diri mereka sendiri, dan lewat warna itu konflik diadakan. Ada komunitas yang jadi lebih kuat dibanding komunitas lain; ada komunitas yang menindas dan karenanya ada komunitas yang tertindas. Komunitas yang kuat cenderung, dan pasti, menguasai komunitas yang lemah.
View all posts by rizaismus