Kehadiran game PlayerUnknown’s Battlegrounds, atau yang biasa disingkat dengan PUBG, di tengah judul esports telah membuat tren baru untuk genre permainan battle royale. Hype yang tercipta dari eksistensinya di platform PC, telah merambah ke platformmobile, dengan kemunculan berbagai judul game lain yang menggunakan konsep Battle Royale
PUBG dan kawan-kawan memiliki permulaan permainan yang sama, dimana semua pemain akan secara acak ditempatkan di sebuah arena pertempuran. Para pemain akan secara terjun bebas mendarat tanpa memiliki sedikti peralatan. Setelah usai mendarat, layaknya film Hunger Games, semua pemain akan berebutan mencari senjata dan perlatan pendukung lainnya, dan kemudian, perang pun dimulai.
Kemenangan dalam permainan dapat diparalelkan sebagai kesuksesan / kebahagiaan / makna lainnya. Melanjuti poin sebelumnya, dimana beberapa keunggulan yang dimiliki oleh beberapa orang, tidaklah menjamin mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Memiliki mobil mewah, rumah mewah, pendidikan papan atas, dan hal-hal lainnya yang bisa dibeli dengan uang tentulah menyenangkan, namun, kenyataan yang sebaiknya tidak kita lupakan adalah bahwa semua benda tersebut hanyalah sebuah alat. Alat tersebut jika digunakan dengan baik tentu saja akan berbuah baik, dan sebaliknya.
Gue di kasih nama Reksa Patih Permana, oleh yang biasa gue panggil Ayah dan Ibu, biasanya gue dipanggil; Reksa, Reksoy, Cokin, Ecul atau Paco. Nama itu gue dapetin dari beragang tongkrongan, tapi gue lebih sering di panggil Reksa. Gue akan sedikit bercerita tentang kehidupan gue yang biasa-biasa ini, simak dengan seksama.
Lahir di Tambora, Jakarta Barat tanggal 23 Juni tahun 98, pas lagi ada kerusuhan yang penyebabnya masyarakat dan mahasiswa mengeritik pemerintah orba, dan kemudian Soeharto (Presiden pada masa itu) mengundurkan diri. Besar di pemukiman yang pernah tercatat sebagai daerah terpadat se-Asia Tenggara, bukan membuat gue bangga, dengan adanya peristiwa kebakaran setiap minggunya, di akibatkan arus pendek listrik terus menerus, gak membuat gue takut akan hal itu. Gue besar sebagaimana anak kecil pada umumnya, yang membedakan gue dengan kawan-kawan gue adalah gue di asuh oleh pembantu sejak bayi, ketika kedua orang tua gue sibuk bekerja. Menjadi liar bukan gue banget pada masa itu, sebagai anak kecil, gue cukup dewasa untuk mengikuti aturan yang dibuat orang tua gue ketika gue di asuh pembantu, pagi pergi sekolah, sore ngaji dan malem ngeles.
Kurangnya waktu bersama Ayah dan Ibu justru menjadikan gue anak yang kurang perhatian dan menghabiskan waktu bersama teman-teman ketika menginjak bangku SMP, ditambah dengan pindahnya keluarga gue ke Tangerang. Ya.. keluarga gue pindah, namun gue tetap di Jakarta untuk nyelesain SMP hingga lulus. terus, gue tinggal dimana? gue tinggal di rumah Nenek gue yang isinya; tiga abang sepupu, tiga tante, dua om dan satu nenek.
Pada saat itu gak ada yang ngurus gue, namun ketika sabtu dan minggu, gue pulang ke Tangerang naik kendaraan umum untuk sekedar bercerita dengan ayah, ibu dan ade-ade gue, apa yang gue lakuin ketika di Jakarta. Selalu berkata baik-baik saja, bukan berarti baik-baik saja. Sebagai seorang anak SMP yang di tinggal orang tuanya dan di awasi dengan telpon genggang doang, membuat gue banyak banget mengenal hal baru, baik hal positif maupun negatif.
SMP telah berlalu, ketika usai liburan kelulusan, SMK Yuppentek 1 Tangerang adalah sekolah gue yang selanjutnya. Sedikit cerita tentang sekolah gue yang notabennya di dominasi oleh kaum laki-laki alias STM (Sekolah Tekhnik Mesin), "fak men! gue salah sekolahan." namun, nasi telah menjadi bubur. Menjadi anak yang baru pindah, membuat gue aga sedikit canggung dengan lingkungan baru. Namun, tidak terlalu menjadi masalah sebagai anak Jakarta yang gak culun-culun amat. Seiring berjalannya waktu, gue menjadi terbiasa dengan keadaan kaya gini. Bareng-bareng keluarga lagi meskipun 'mereka' tetap sibuk dengan pekerjaannya, setidaknya ada yang masakin makanan kalau perut lapar.
Bertemu dengan teman-teman baru di Tangerang, gak membuat gue meninggalkan kegiatan favorite yang biasa gue lakuin dengan kawan-kawan di Jakarta, yaitu nonton Persija. Mungkin orang-orang menganggap supporter sepak bolah adalah orang-orang yang anarkis, tapi gue gak peduli (orang gue gak anarkis). Apapun yang berbau Jakarta selalu membuat gue tertarik. Karna, kalau gue gak lahir di Jakarta mungkin gue gak akan menjadi gue yang sekarang, sebagian karakter gue terbentuk di Jakarta. Kecintaan gue terhadap Persija kian lama luntur seiring bertambahnya usia dan kesibukan kuliah. Dan.. ketika kuliah gue gak tau harus nulis apa, selesai.
View all posts by Kontradiksi