Pasar Senen memang enggak ada matinya. Deretan bekas kios yang menghitam menyambut saya ketika sampai di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Tapi ribuan orang hari itu sibuk dengan aktivitas jual beli, tak peduli dengan kondisi pasar yang awal tahun ini dilanda musibah kebakaran.
Pasat tradisional yang sejak lama menjadi tempat berkumpulnya pedagang pakaian ini sudah enam kali terbakar habis sepanjang kurun tiga dasawarsa. Malah, 10 tahun terakhir sudah terjadi tiga kali kebakaran hebat. Insiden terakhir pada 19 Januari lalu, melalap lebih dari 1.600 kios yang penuh kain dan busana di Blok I. Tapi, didukung semangat juang para pedagangnya, pasar ini menolak menyerah. Kurang dari setahun, pasar ini sudah ramai kembali. Sebagian pedagang menjajakan barangnya di pinggiran pasar. Sementara yang lainnya direlokasi ke Blok V, persis di belakang blok yang tempo hari dihajar si jago merah.
Berbeda dari Tanah Abang, Pasar Senen merupakan sentra pakaian bekas. Inilah ciri khas Senen dibanding pasar-pasar busana lainnya. Itu pula tujuan saya mampir ke sini. Ke mana lagi mencari baju bekas bermerek, dengan harga di bawah Rp 100 ribu, kalau bukan di Pasar Senen?
Busana second-hand di Pasar Senen benar-benar asli, bukan merek KW. Lantas, dari mana sih datangnya? Kenapa setiap pedagang di sana bisa memperoleh celana, kemeja, hingga jaket asli dari merek terkenal luar negeri? Rupanya rata-rata pedagang memperoleh pasokan baju dari kenalan mereka di mancanegara. Khususnya negara-negara Barat, yang mana konsumennya hanya ingin memakai fast-fashion tak lebih dari setahun.
Gue di kasih nama Reksa Patih Permana, oleh yang biasa gue panggil Ayah dan Ibu, biasanya gue dipanggil; Reksa, Reksoy, Cokin, Ecul atau Paco. Nama itu gue dapetin dari beragang tongkrongan, tapi gue lebih sering di panggil Reksa. Gue akan sedikit bercerita tentang kehidupan gue yang biasa-biasa ini, simak dengan seksama.
Lahir di Tambora, Jakarta Barat tanggal 23 Juni tahun 98, pas lagi ada kerusuhan yang penyebabnya masyarakat dan mahasiswa mengeritik pemerintah orba, dan kemudian Soeharto (Presiden pada masa itu) mengundurkan diri. Besar di pemukiman yang pernah tercatat sebagai daerah terpadat se-Asia Tenggara, bukan membuat gue bangga, dengan adanya peristiwa kebakaran setiap minggunya, di akibatkan arus pendek listrik terus menerus, gak membuat gue takut akan hal itu. Gue besar sebagaimana anak kecil pada umumnya, yang membedakan gue dengan kawan-kawan gue adalah gue di asuh oleh pembantu sejak bayi, ketika kedua orang tua gue sibuk bekerja. Menjadi liar bukan gue banget pada masa itu, sebagai anak kecil, gue cukup dewasa untuk mengikuti aturan yang dibuat orang tua gue ketika gue di asuh pembantu, pagi pergi sekolah, sore ngaji dan malem ngeles.
Kurangnya waktu bersama Ayah dan Ibu justru menjadikan gue anak yang kurang perhatian dan menghabiskan waktu bersama teman-teman ketika menginjak bangku SMP, ditambah dengan pindahnya keluarga gue ke Tangerang. Ya.. keluarga gue pindah, namun gue tetap di Jakarta untuk nyelesain SMP hingga lulus. terus, gue tinggal dimana? gue tinggal di rumah Nenek gue yang isinya; tiga abang sepupu, tiga tante, dua om dan satu nenek.
Pada saat itu gak ada yang ngurus gue, namun ketika sabtu dan minggu, gue pulang ke Tangerang naik kendaraan umum untuk sekedar bercerita dengan ayah, ibu dan ade-ade gue, apa yang gue lakuin ketika di Jakarta. Selalu berkata baik-baik saja, bukan berarti baik-baik saja. Sebagai seorang anak SMP yang di tinggal orang tuanya dan di awasi dengan telpon genggang doang, membuat gue banyak banget mengenal hal baru, baik hal positif maupun negatif.
SMP telah berlalu, ketika usai liburan kelulusan, SMK Yuppentek 1 Tangerang adalah sekolah gue yang selanjutnya. Sedikit cerita tentang sekolah gue yang notabennya di dominasi oleh kaum laki-laki alias STM (Sekolah Tekhnik Mesin), "fak men! gue salah sekolahan." namun, nasi telah menjadi bubur. Menjadi anak yang baru pindah, membuat gue aga sedikit canggung dengan lingkungan baru. Namun, tidak terlalu menjadi masalah sebagai anak Jakarta yang gak culun-culun amat. Seiring berjalannya waktu, gue menjadi terbiasa dengan keadaan kaya gini. Bareng-bareng keluarga lagi meskipun 'mereka' tetap sibuk dengan pekerjaannya, setidaknya ada yang masakin makanan kalau perut lapar.
Bertemu dengan teman-teman baru di Tangerang, gak membuat gue meninggalkan kegiatan favorite yang biasa gue lakuin dengan kawan-kawan di Jakarta, yaitu nonton Persija. Mungkin orang-orang menganggap supporter sepak bolah adalah orang-orang yang anarkis, tapi gue gak peduli (orang gue gak anarkis). Apapun yang berbau Jakarta selalu membuat gue tertarik. Karna, kalau gue gak lahir di Jakarta mungkin gue gak akan menjadi gue yang sekarang, sebagian karakter gue terbentuk di Jakarta. Kecintaan gue terhadap Persija kian lama luntur seiring bertambahnya usia dan kesibukan kuliah. Dan.. ketika kuliah gue gak tau harus nulis apa, selesai.
View all posts by Kontradiksi