“Dan film itu oleh segala bangsa di dunia ini sudah lama dipergunakan sebagai alat komunikasi yang tiada tara ampuhnya”
-Usmar Ismail-
Saya pertama kali melihat kutipan di atas di instagram, dulu sekali. Sebuah akun -yang saya lupa namanya- mengunggah sebuah cuplikan video orang merekam tulisan di tembok pinggir jalan tersebut. Saya lupa lokasi temboknya di mana, yang jelas tulisan di tembok itu berada di kota kelahiran Usmar Ismail. Cuplikan video tersebut kemudian muncul kembali di akun Instagram @overheardshootingan beberapa waktu lalu, yang kembali mengingatkan saya pada kutipan di atas.
Saya menyukai kutipan dari pelopor perfilman Indonesia karena saya suka menonton film dan menyukai proses pembuatannya dan tertarik dengan industri film. Bagi saya, kutipan di atas memiliki makna dan pesan kepada generasi penerus perfilman, bahwa film bukan hanya media hiburan, film adalah media ekspresi dan komunikasi.
Saya, kamu dan kita mampu mengekspresikan segala isi dalam kepala kita -hingga imajinasi terliar sekalipun- dan menceritakan segalanya kepada khalayak melalui media audio visual bernama film dengan genre apapun.
Oh ya, saya ingat sekarang, Usmar Ismail lahir di Kota Bukit Tinggi.
Saya bernama lengkap Muhammad Fadlan Nuril Fahmi dan biasa dipanggil Fadlan. Lahir dengan selamat pada 11 Agustus 2001 di Kota Tangerang dan berjenis kelamin laki-laki juga menjadi seorang Warga Negara Indonesia yang sah di mata negara. Sejak kecil menganut agama yang diberikan oleh Tuhan melalui turunan orang tua yaitu Islam. Seorang anak bungsu dan terlahir kembar yang memiliki ketertarikan pada sinematografi khususnya penulisan naskah film dan teater fiksi juga fotografi. Berkuliah di Universitas Budi Luhur dengan jurusan Broadcast Journalism sejak tahun 2019. Kini menjabat sebagai ketua kelas Unggulan Broadcast angkatan 2019. Memiliki cita-cita sebagai seorang filmmaker, pemain teater dan memiliki hidup realistis yang sejahtera. Ketertarikan terhadap sebuah seni foto dan film diawali pada masa SMA yang akhirnya menghasilkan berbagai karya. Teater Elektra dan De Organization of Cinematography, dua ekskul seni yang menjadi titik awal saya pada sebuah seni teater dan seni sinematografi. 3 kali berturut-turut sejak 2017 hingga 2019 menyabet gelar juara 2 dan 1 dalam lomba film se-Jabodetabek Banten. Dan 2 kali menjadi juara dalam lomba teater. Mayoritas menggunakan naskah yang saya tulis sendiri baik film pendek ataupun teater. Perbedaan pertunjukan menjadi sebuah tantangan untuk merealisasikan sesuatu yang bermula dari imaji abstrak dan tulisan belaka. Mengawali cerita dengan mengambil sudut pandang yang dekat dengan diri, dekat dengan lingkungan dan mencoba relevan karena belum berani mengambil resiko terhadap imajinasi yang terlalu liar dan sulit direalisasikan. Belakangan saya mulai menulis kembali beberapa draft yang tentunya belum selesai dikerjakan namun cukup berani membawa tema dan arah cerita pada isu sensitif dan tidak semua orang bisa menjelaskan secara gamblang apalagi merealisasikan dengan bentuk cerita atau gambar bergerak. Isu atau topik yang menurut saya perlu banyak orang lihat, perlu banyak orang tahu, dan perlahan berubah menjadi keresahan sendiri. Memang paling nikmat ketika menuliskan sesuatu berdasarkan keresahan, menceritakan sesuatu dan bahkan merealisasikan dalam bentuk gambar maupun film dengan keresahan. Hal ini juga saya dapatkan ketika saya mencoba untuk terjun di dunia stand up comedy. Bukan karena lucunya, tetapi cara penulisan, teknik dan sudut pandang yang digunakan mampu dibawa sekaligus dibalut dengan patahan-patahan. Keunikan bercerita melalui film dan tulisan atau bahkan dengan stand up comedy lah yang mungkin bisa jadi sebuah cara baru dalam menyampaikan keresahan dengan balutan yang bisa dinikmati semua orang juga tidak membosankan.
View all posts by Muhammad Fadlan Nuril Fahmi